Seni Curhat: Seni Menertawakan Tragedi Hidup

Rima Nusantriani
5 min readApr 15, 2021

--

Tahun ini saya berusia 30 tahun. Ada banyak hal berubah, ada juga yang tidak. Hal yang tidak berubah adalah cicilan rumah saya tetap harus dibayar. Hal yang berubah tentu saja Corona masuk dalam kehidupan ras manusia yang perlahan-lahan (atau cepat?) mengubah peradaban. Selain itu, keberadaan Corona di usia 30 tahun ternyata juga turut mengubah beberapa kesadaran saya, salah satunya tentang pertemanan.

Saya tidak punya banyak teman. Hal ini membuat saya sangat menjaga teman-teman saya. Dalam model pertemanan perempuan, sesi curahan hati atau yang disingkat curhat adalah hal penting. Pada sesi ini, perempuan membangun ikatan, rasa percaya dan menumbuhkan akar pada relasi (bukan berarti saya mengatakan sesi curhat tidak ada dalam pertemanan laki-laki. Tapi model pertemanan laki-laki yang tidak harus membagi masalah hidup dengan bercerita menjadikan sesi curhat tidak terlalu penting). Bagi orang yang sangat mengagungkan pertemanan seperti saya, biasanya akan memberi diri saat sesi curhat. Artinya akan berkonsentrasi penuh pada teman, mendengarkan dengan serius, memastikan teman lega saat selesai bercerita dan yang paling penting menjaga kerahasiaan cerita teman. Bagi saya sendiri, saat teman saya memilih saya sebagai teman curhat, berarti kepercayaannya sangat besar pada saya. Saya wajib menjaga itu, bahkan saat kami tidak berteman lagi.

Corona dan Perubahan

Corona datang tepat saat saya merayakan usia 30 tahun. Saat memasuki masa itu, saya mulai merasakan kelelahan panjang. Situasi berubah cepat. Banyak kabar sedih tentang orang-orang baik yang sakit dan meninggal. Hari-hari penuh ketidakpastian. Padahal setiap orang masih harus berjuang untuk makan dan hidup. Semangat saya turun. Keadaan eksternal ini ternyata mempengaruhi saya hingga pada level performa di sesi curhat.

Dalam kondisi ini, saya tidak bisa lagi menjadi teman yang baik. Dalam beberapa sesi curhat saya mendengarkan dengan terpaksa atau bahkan tidak serius. Saya bahkan mudah terpancing emosi dan malah memarahi balik teman saya. Saya juga berkonflik dengan teman saya dan menjadi tidak sabaran. Belum lagi kelelahan panjang yang mesti saya tanggung setelah sesi curhat berakhir. Hal itu bahkan berpengaruh langsung ke pekerjaan saya yang juga berhubungan dengan banyak orang.

Kesedihan menjalani masa pandemi

Keadaan tersebut membuat saya kacau. Hingga pada suatu moment, saya benar-benar lelah dan memutuskan untuk tidak terkoneksi dengan siapapun. Saya mematikan telepon dan mengurung diri. Tapi baru sehari saya lakukan, ternyata ada satu dua teman yang muncul di pikiran saya. Ada rasa rindu. Ada keinginan untuk berbincang meski sebentar. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya saya mengkontak satu teman, Monik.

Curhat Artinya Menertawakan Tragedi Hidup

Hubungan pertemanan saya dan Monik sudah 12 tahun. Saking lamanya berteman, kami sama-sama menyaksikan perubahan bentuk badan dari kurus-gemuk-kurus-gemuk lagi. Kami juga menyaksikan perkembangan spiritual kami dari orang rajin ibadah hingga menjadi orang berdoa dalam hati, yang mendefinisikan Yang Transendental dengan cara dan pengalaman masing-masing.

Ya, saya sangat dekat dengan Monik. Kami juga selalu punya sesi curhat. Tapi apa yang membuat saya tetap ingin terkoneksi dengannya? Ternyata karena cara menghadapi masalah hidup atau dalam bahasa Monik tragedi hidup serta bagaimana kami menuangkannya dalam sesi curhat. Sesi curhat kami memang cukup unik. Kami melakukan sesi curhat setelah kami sudah bisa mencerna masalah atau tragedi yang kami alami. Artinya masalah kami sudah tidak mentah lagi dan tidak penuh partikel negatif. Kami biasanya mengendapkannya terlebih dahulu, lalu mengolahnya dengan tambahan makna atau perspektif atau humor atau makian atau bahkan teori. Jadi saat kami melakukan sesi curhat, kami bisa bercerita tentang hidup dari level partikular hingga universal. Kami membagi pengalaman, perjalanan dan pelajaran yang menambah wawasan. Bahkan kadang kami bisa menertawakan tragedi atau masalah hidup. Seperti kami sering menertawakan kehidupan usia 30 tahun kami yang jauh dari cita-cita masyarakat yakni lajang, sobat misqueen dan belum punya resolusi di tahun 2021. Cukup gila bukan? Tapi begitulah.

Dari sini saya mengerti bahwa kesalahan saya selama ini adalah terlalu memberikan diri dalam sesi curhat. Saya tidak membatasi diri saya. Dalam sesi curhat biasanya tidak ada aturan yang jelas. Pihak yang dalam tragedi merasa berhak langsung menumpahkan semua cerita negatif tanpa memikirkan perasaan pihak pendengar. Tentu saja hal ini diperbolehkan, karena itulah gunanya teman perempuan. Namun, dalam kasus saya di waktu pandemi ini, ternyata menjadi pendengar yang baik tidak selalu membawa pengaruh positif pada kondisi mental saya.

Mendengar curhat berarti memberi diri.

Lakukan Curhat dengan Seni

Untuk itu saya pikir di sini perlu sekali berlatih mengendalikan jenis curhatan apa yang bisa didengarkan atau teman seperti apa yang bisa terkoneksi dengan saya. Atau kalau pun saya bisa menawarkan solusi, mungkin kita bisa menjadi perempuan yang berevolusi melakukan curhat dengan seni. Dalam arti sebelum kita menyeret teman kita dalam cerita tragedi hidup kita, terlebih dahulu cernalah tragedi yang menimpa kita lalu tambahkan sudut pandang atau makna. Sehingga saat sesi curhat dilakukan, bukan partikel negatif yang disebarkan, melainkan makna atau pelajaran atau pertanyaan atau bahkan humor. Seperti cara saya dan Monik saat curhat. Kami bercerita tanpa menyakiti atau melelahkan masing-masing. Bahkan kami menertawakan tragedi hidup.

Jadi benar, bahwa teman perempuan yang bersama-sama dengan kita saat ini adalah teman yang dipilihkan hidup. Tapi karena hidup sekarang sedang dalam masa transisi dan kadang menyajikan realita yang tidak menyenangkan, setiap orang memiliki kerjaan untuk mengurus tragedinya masing-masing. Oleh karena itu, mau tidak mau, kita juga harus bisa berevolusi menjadi perempuan yang mampu melakukan curhat dengan seni. Hal ini selain baik dalam mengasah kepekaan perasaan dan ketajaman pikiran kita, sekaligus juga melindungi teman tulus kita yang selalu siap sedia melupakan sejenak tragedi hidupnya demi fokus pada tragedi kita. Kita harus mampu membentuk model baru pertemanan perempuan di masa pandemi Corona yang menguras banyak energi ini. Model pertemanan perempuan yang mampu membentuk sesi curhat sebagai sesi penguatan bukan sesi melemahkan apalagi sesi menggosip. Hal ini penting agar esensi pertemanan perempuan yang saling melindungi dan menumbuhkan bisa kekal.

Perasaan woohoo setelah selesai curhat

--

--

Rima Nusantriani
Rima Nusantriani

Written by Rima Nusantriani

Art enthusiast. Lives in Kampung Yahim, Jayapura Regency

No responses yet